Penguatan Ekonomi Rakyat dengan Peran Sentral Kaum Perempuan

Rabu, 22 Desember 2010

Dipublikasikan pertama kali via Facebook oleh Nugroho Tejo Mukti pada 17 Desember 2010 jam 15:28

Judulnya memang mencoba untuk mereposisi peran sentral kaum laki-laki, yang sejauh ini masih mendominasi perekonomian Nasional. Juga didedikasikan untuk kaum perempuan, yang pada 22 Desember 2010 memperingati momentum hari ibu. Semoga ulasan dalam tulisan ini bermanfaat...

Memperingati momentum hari ibu, ada semangat yang digaungkan oleh pemerintah melalui kementrian yang membidangi peranan perempuan dalam rangka penguatan peran ekonomi kaum perempuan, khususnya kaum ibu. Semangat ini memberikan angin segar bagi kaum ibu dalam memerankan pelaku perekonomian berbasis kerakyatan. Karena kiprah kaum ibu mulai menunjukkan eksistensinya, seiring prestasi yang mereka capai.

Peran kaum ibu dalam penguatan ekonomi menjadi wacana yang tepat, disaat kaum ibu membutuhkan dukungan penuh dari negara. Hal ini wajar, mengingat kontribusi kaum ibu yang tidak sedikit dalam memajukan ekonomi kerakyatan.

Penguatan ekonomi oleh kaum ibu di lingkup keluarga merupakan solusi. Dimana peran kaum ibu selain sebagai pengelola keuangan rumah tangga, juga dapat diperluas pada upaya untuk mendukung ketahanan finansial keluarga. Salah satunya dengan berwirausaha. Upaya ini menjadi semakin mudah dikarenakan tidak bertentangan dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Hanya saja, dalam implementasinya tetap memperhatikan peran utama kaum ibu sebagai wakil kepala rumah tangga.

Di lingkup masyarakat, penguatan ekonomi yang dilakukan kaum ibu bertujuan untuk membangun ketahanan ekonomi masyarakat. Melalui kerja sama, kaum ibu dapat mendorong peningkatan kesejahteraan keluarga yang berada pada taraf ekonomi kurang mampu. Realisasi di lapang pun telah banyak menunjukkan hasil.

Yang lebih luas lagi adalah penguatan ekonomi oleh negara kepada kaum ibu. Kegiatan ini diwujudkan dalam program-program kerja pemerintah dalam mendukung pemberdayaan ekonomi kaum ibu.

Apa yang dilakukan pemerintah sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang tercantum dalam pasal 33. Perekonomian sebagai salah satu aspek kehidupan bernegara, dimanifestasikan dalam bentuk perekonomian kerakyatan. Nah... di dalamnya ada peran kaum ibu sebagai salah satu pelaku ekonomi kerakyatan.

Dengan demikian, penguatan ekonomi oleh kaum ibu harus dimasukkan dalam visi pembangunan jangka panjang sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Karena kaum ibu merupakan potensi terbaik bangsa Indonesia, yang mampu memainkan peran sentral perekonomian Nasional kedepan. Insya Allah

Selamat Hari Ibu, We love you mom...

Writed by admin blOg mAs nUgrOhO Inc.

Aktivis Kudu Nulis, Titik!

Selasa, 07 Desember 2010


Sebuah penekanan buat para aktivis, bahwa idealisme tidak hanya bisa diwujudkan dalam sikap dan perbuatan. Idealisme bisa diwujudkan dalam sebuah karya tulisan. Dengan tulisan itulah, para aktivis dapat menyuarakan isi hatinya.

Nah... ngomong-ngomong soal menulis, pada posting kali ini perlu saya sampaikan pada sobat aktivis semua, " bahwa menulis itu ada rulesnya ".

" Kenapa musti ada rules? Padahal nulis tinggal nulis. "
, sabar sob... saya jelasin nih ya

Rules berfungsi sebagai kontrol atas apa yang kita tulis. Tanpa kontrol, maka kita akan kebablasan. Apalagi pemerintah memiliki aturan perundangan yang menaungi masalah publikasi tulisan, khususnya di media online. Jadi... biar ndak ada masalah yang ngganjel di belakang hari, lebih baik mengantisipasi.

Sampai sini dulu deh, ntar dilanjutin lagi pada posting berikutnya mengenai tips menulis.

Salam Perjuangan,

Mas Nugroho

Refleksi Semangat Kemerdekaan Kaum Muda

Senin, 06 Desember 2010


Peran kaum muda tidak bisa diabaikan dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Tidak banyak pula yang paham, bagaimana matangnya pemikiran dan sikap kaum muda kala itu. Sehingga apabila ada yang beranggapan bahwa kaum muda belum pantas memimpin ke arah perubahan yang lebih baik adalah kurang tepat.

Mengapa dikatakan demikian?

Karena kaum muda adalah motor penggerak perubahan, dan memiliki karakter yang kuat. Dimana semangat dan idealisme menjadi dua hal yang penting. Hal ini terbukti dari catatan sejarah, ketika kaum muda bergerak dengan semangat dan idealismenya, mendesak Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan negara Indonesia.

Lalu apa peran penting kaum muda saat ini?

Di era Indonesia merdeka, peran penting kaum muda masih dan akan terus dibutuhkan. Oleh karena itu kaum muda butuh media aktualisasi diri, sebagai calon pemimpin bangsa Indonesia untuk generasi mendatang. Karena siapa lagi kalau bukan kaum muda yang memimpin?

Kaum muda tidak bisa terus dianggap remeh dengan alasan ” tidak cukup matang dan berpengalaman ”, karena kaum muda selalu berpikir progresif dan memiliki kapasitas memimpin yang tidak kalah berkualitas. Apalagi kaum muda bukanlah komunitas yang nyaman dengan kemapanan. Mereka senantiasa bergerak tuntaskan perubahan!

Dengan nilai positif yang dimiliki oleh kaum muda ini, mereka bisa dengan leluasa mengembangkan potensinya sebagai generasi pemimpin masa depan. Tentunya apabila diberi kesempatan seluas-luasnya dan diarahkan dengan sebaik-baiknya.

Lho, kok masih ada embel-embel diarahkan?

Betul... sebagai kaum muda tidak bisa menafikan begitu saja kebijaksanaan yang dimiliki para negarawan, politisi senior, dan pendahulu lainnya. Mereka tetap memiliki kelebihan atas kaum muda dalam hal pengalaman, kematangan pemikiran dan tentunya layak mendapatkan penghormatan atas semua kontribusinya untuk bangsa dan negara ini. Sehingga dengan begitu terjadi harmonisasi potensi yang dimiliki oleh para pendahulu dan kaum muda.

Harmonisasi inilah yang akan mampu menghasilkan maha karya pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Tanpa harmonisasi, maka potensi pada masing-masing generasi tidak akan sebesar apabila dipadukan. Pada akhirnya proses kemerdekaan tidak mampu menuju kepada titik keberhasilan. Tentu kita tidak menginginkan hal ini bukan?

Merdeka! Dari Kebodohan, Kemiskinan dan Tekanan

Karakter Kepemimpinan Nasional

Minggu, 05 Desember 2010


"... seorang pemimpin harus selalu memiliki kelebihan dan keunggulan dari pada rakyatnya." itulah yang disampaikanDrs. Abdul Rahman Kadir, MM dalam papernya yang berjudul Karakter Kepemimpinan Nasional.

Dari hasil analisanya, didapatkan gambaran kondisi kepemimpinan Nasional saat ini. Berikut, beberapa fenomena yang dapat ditangkap, dirasakan, dilihat dan didengar :

Terjadi degradasi perilaku kepemimpinan nasional, yang ditandai dengan maraknya ; saling hujat, saling fitnah, provokasi, agitasi para pengikutnya, pengingkaran kebenaran, saling jegal, menjadi pengadu domba, menjadikan massa pengikutnya setia sampai mati tanpa peduli kebenaran, keadilan dan budaya, pokoknya membalas lawan tanpa etika, menjadi pemimpin kharismatik yang memiliki pengikut fanatik.


Para pemimpin sebagian besar tidak mencegah pengikutnya melakukan pelanggaran : konstitusi, norma agama, adat, sosial dan etika profesi. Bahkan norma dan tata pergaulan dunia/keprotokolan diterjang tanpa malu.


Tidak peka ( sensitive ) terhadap aspirasi masyarakat, bahwa rakyat memerlukan ketenteraman, kenyamanan dan keadilan bukan wacana politik yang terus meruncing.


Tidak melakukan pendidikan politik bagi para pengikutnya, dibuktikan dengan pemahaman yang sempit terhadap keputusan politik seperti ; memorandum, penyelesaian GAM, OPM dll.


Setelah duduk diberbagai jabatan negara ternyata masih memposisikan diri sebagai utusan golongan, parpol dan kelompoknya, sehingga kepekaan rasa nasionalisme-nya tipis. Bahkan cenderung primodial, etnosentris dan tidak berusaha menjadi politikus maupun negarawan multicultural atau kosmopolitan.


Paradigma dan mind-set yang kolusif, nepotis dan koruptif semakin menjadi. Konon melebihi tindak penyimpangan di jaman ORBA yang dikecam dan dijadikan agenda reformasi untuk diberantas,


Keteladanan berperilaku ; ucapan, pernyataan, diplomasi dan penyelesaian masalah mendasar yang dihadapi bangsa kurang. Sense-of crisis hampir-hampir punah karena dominasi kepentingan ( interest ) pribadi, kelompok, partai dan golongan, bisnis dan rasis.


Tidak dapat membedakan tindakan tegas terhadap pelanggaran kedaulatan negara dengan tindakan pelanggaran HAM, adanya pro dan kontra penindakan terhadap pemberontak dan kaum separatis. Para pemimpin yang bertanggung jawab seolah tak perduli, tapi justru mengomentari bidang tugas pemimpin lain yang tak ada sangkut paut dengan kepemimpinannya.

Para pemimpin partai-partai, orsospol, LSM dan OKP, membungkus aktifitas politik dengan nuansa keagamaan yang cenderung memicu pertikaian antar etnik, antar sesama warga masyarakat, bahkan sesama penganut agama namun berbeda aliran politik. Dengan demikian rakyat awam sulit membedakan dengan akal rasionya mana kegiatan agama atau politik.

Keberagaman tingkat pendidikan formal, jurusan / profesionalisme dan legalisasi kerancuan profesionalitas dalam kepemimpinan negara ditingkat atas / Kabinet dengan mendudukkan menteri yang tak sesuai dengan bidang keahlian dan keprofesionalan. Ingat konstitusi mengharuskan berdirinya Kabinet Ahli bukan koalisi, aliansi ataupun pelangi, indikator kualitas perilaku kepemimpinan diatas membawa bangsa dan negara dalam krisis kepercayaan dan perangkap dunia ( global trap ) yang sangat parah, konon mendudukkan Indonesia diperingkat 130-an kualitas SDM di dunia.

Dari fenomena-fenomena tersebut, dapat diketahui bahwa akar permasalahan kepemimpinan Nasional berasal dari karakter kepemimpinan yang ada saat ini. Untuk memahami lebih dalam mengenai analisa
Drs. Abdul Rahman Kadir, MM terhadap permasalahan kepemimpinan ini, anda bisa mengakses

yb1zdx.arc.itb.ac.id/...1/.../karakter-seorang-pemimpin-03-2001.rtf

Peran Sosial Mahasiswa


Mahasiswa menempati kedudukan yang khas di masyarakat, baik di dalam masyarakat kampus maupun di luar kampus. Kekhasan ini tampak pada serentetan atribut yang disandang mahasiswa seperti, intelektual muda, kelompok penekan, agen pembaharu, dan kelompok anti status quo.

Dalam perspektif sosial, mahasiswa pun menunjukkan dinamika tersendiri sebagai kelompok yang secara konsisten memperjuangkan hak-hak kaum tertindas serta memberi kontribusi yang tidak kecil dalam rekayasa perubahan sosial menuju masyarakat yang lebih baik.

Posisi mahasiswa yang netral dan tidak mempunyai kepentingan tertentu atau dibawah kepentingan, telah menempatkannya pada posisi yang sangat disegani dan dihormati dalam setiap proses perubahan sosial masyarakat.

Mahasiswa sendiri adalah kelompok masyarakat yang sedang menekuni bidang ilmu tertentu dalam lembaga pendidikan formal. Kelompok ini sering juga disebut sebagai Golongan intelektual muda yang penuh bakat dan potensi. Posisi yang demikian ini sudah barang tentu bersifat sementara karena kelak di kemudian hari mereka tidak lagi mahasiswa dan mereka justru menjadi pelaku-pelaku intim dalam kehidupan suatu negara atau masyarakat.

Peran mahasiswa sejauh ini senantiasa diwarnai oleh situasi politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Mereka biasanya memerankan diri sebagai Oposan yang kritis sekaligus konstruktif terhadap ketimpangan sosial dan kebijakan politik, ekonomi. Mereka sangat tidak toleran dengan penyimpangan apapun bentuknya dan nurani mereka yang masih relatif bersih dengan sangat mudah tersentuh sesuatu yang seharusnya tidak terjadi namun ternyata itu terjadi atau dilakukan oleh oknum atau kelompok tertentu dalam masyarakat dan pemerintah.

Mahasiswa sebagai calon pemimpin dan pembina pada masa depan ditantang untuk memperlihatkan kemampuan untuk memerankan peran itu. Jika gagal akan berdampak negatif pada masyarakat yang di pimpinnya.

Demikian pula sebaliknya, dalam perubahan sosial yang dahsyat saat ini, mahasiswa sering dihadapkan pada kenyataan yang membingungkan dan dilematis. Suatu pilihan yang teramat sulit harus ditentukan, apakah ia terjun dalam arus perubahan sekaligus mencoba mengarahkan dan mengendalikan arah perubahan itu; ataukah sekedar menjadi pengamat dan penonton dari perubahan atau mungkin justru menjdi korban obyek sasaran dari perubahan yang dikendalikan oleh orang lain.

Melihat realitas dan tantangan diatas, mahasiswa memiliki posisi yang sangat berat namun sangat strategis dan sangat menentukan. Bukan zamannya lagi untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi penonton dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi; tetapi harus mewarnai perubahan tersebut dengan warna masyarakat yang akan dituju dari perubahan tersebut adalah benar-benar masyarakat yang adil dan makmur.

Lalu, sudahkah anda sebagai mahasiswa, mampu menjalankan peran dan tanggung jawab sosial di masyarakat?

Bangkit untuk berjuang melawan penjajahan baru!

Jumat, 03 Desember 2010


Penjajahan baru di era globalisasi. Bentuk penjajahan ini tidak lagi diterjemahkan secara harfiah dalam arti sempit sebagai penjajahan fisik.

Neoliberalisme telah mempengaruhi tatanan kehidupan bermasyarakat di dunia. Indonesia pun tak luput dari cengkeraman neoliberalisme. Biyuh…!

Neoliberalisme bisa dikatakan sebagai liberalisme jilid 2. Negara-negara penganut paham tersebut mencoba untuk menanamkan pengaruhnya pada tatanan hidup masyarakat dunia. Dengan begitu mereka bisa mendapatkan pengikut yang siap mendukung setiap kebijakan mereka dan itulah keuntungan bagi mereka.

Tidak disangkal lagi bahwa negara-negara maju saat ini menekankan liberalisme di berbagai aspek kehidupan. Tidak tanggung-tanggung, mereka mencoba mengatur dunia dengan liberalisme walaupun dengan kemasan yang berbeda-beda.

Berbicara liberalisme, tentu kita sudah paham bahwa yang dinamakan liberalisme adalah mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.

Nah… kalau sudah begini, apa yang terjadi? Ya! Timbul pertentangan dan kerusakan tatanan hidup masyarakat. Karena kepentingan pribadi, kepentingan umum tidak diperlukan lagi. Gampangnya kita istilahkan dengan elu elu gue gue…

Lain neoliberalisme lain neokapitalisme, walaupun intinya sama. Liberalisme…!

Neokapitalisme lebih fokus pada liberalisme perekonomian, dimana pemilik modal merupakan penguasa perekonomian. Kalau pemilik modal sudah seenaknya sendiri, bisa jadi perekonomian ambruk dengan mudah. Sudah terbukti man…

Coba tengok… krisis ekonomi global. Siapa lagi kalau bukan ulah para kapitalis yang seenak udele dhewe (semaunya sendiri red). Kalau sudah nggak menguntungkan, ditariknya lah mereka punya modal. Perekonomian dibiarkan ambruk begitu saja. Weleh weleh…

Hah! Walau begitu, masih ada saja yang mau ngebelain liberalisme? Udah jelas-jelas ngerusak tatanan hidup masyarakat, masih aja dipake buat pondasi kehidupan bermasyarat. Deuh… susah kalau ngeliat orang-orang yang ngeyel kayak gitu.

Apa saja yang digunakan para neolib untuk menanamkan pengaruhnya?

Banyak. Kalau mau jujur, dari ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial budaya sampai pertahanan keamanan pun bisa dipengaruhi. Lho kok bisa? Bisa!

Karena pada intinya, apa yang dianut oleh para neolib itu kan adalah mempertahankan kepentingannya. Agar mereka eksis maka mereka harus menguasai sumber daya sebanyak-banyaknya.

Nah lho… apa nggak sama saja dengan penjajahan namanya?

Lantas, apa yang harus dilakukan untuk melawan neoliberalisme?

Tidak ada pilihan lain, selain bangkit dan lawan! Seperti era perjuangan kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia sadar bahwa mereka harus lepas dari belenggu penjajahan dan hidup mandiri.

Perjuangan ini tak lepas dari partisipasi generasi muda, karena generasi muda indonesia adalah penerus bangsa. Tanpa dukungan generasi muda maka perjuangan menjadi semakin berat.

Pesan moral : Bagi yang tidak ingin dikatakan sebagai seorang neolib yang bermental penjajah, tidak akan melakukan tindakan copy paste untuk kepentingan komersil pribadi. Lebih baik jika kita berdiskusi untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Silahkan kirimkan e-mail anda ke nt4673@gmail. com

SEMANGAT!!

Kamis, 02 Desember 2010



Kawan
,
Semangat & Pengorbanan membuktikan pada diri kita sendiri, bahwa cita-cita yang kita tuju dapat kita raih. Dalam meraih tujuan tersebut pastinya kita dihadapkan pada sebuah perjalanan atau proses. Apakah kawan-kawan tahu, bahwa proses itu secara langsung maupun tidak langsung melibatkan kita dalam sebuah persaingan. Ya! Persaingan itu akan senantiasa ada, karena telah menjadi ketentuan universal alias sudah umum, bukankah begitu?

Dalam suatu perjalanan pastinya kita secara sadar akan menyiapkan perbekalan untuk mengantisipasi berbagai hal yang mungkin kita hadapi. Ketika kita dihadapkan pada persaingan, maka bekal keunggulan lah yang mutlak kita persiapkan. Keunggulan menjadi pembeda antara kita dengan orang lain dan ini akan menunjukkan eksistensi kita. Coba kawan-kawan resapi sejenak kata "eksistensi"! Kita tidak bisa menafikannya bukan?

Ini sebuah kisah yang cukup menarik, ada seorang mahasiswa yang tidak pernah mengira sebelumnya bahwa dia akan menjadi orang yang akan memimpin banyak orang. Dia memang ingin merubah sikapnya yang cenderung tertutup dan kurang pergaulan. Sama sekali tak terpikirkan dalam benaknya untuk bisa memimpin seperti yang akan dijalaninya sekarang. Dukungan mengalir pada mahasiswa tersebut dan tidak ada pilihan yang lebih baik selain maju dalam kompetisi dan bersaing dengan rekannya sejawatnya yang secara pengalaman lebih baik. Dia berangkat dari nol dan belajar bagaimana menjadi hero, Ya! Hero! Bisa ditebak, dengan Semangat & Pengorbanan, ia mematahkan mitos kemapanan yang menjadi momok besar baginya. Dia mampu meraih apa yang menjadi tujuannya, yaitu merubah dirinya yang tertutup dan kurang pergaulan menjadi seseorang yang lebih baik, dan dia mendapatkan lebih dari itu. Dia memimpin banyak orang dalam jangka waktu yang cukup lama, dan inilah tantangan bagi dia selanjutnya. Mampukah dia? Anda tentu bisa menebaknya

Jadi Semangat & Pengorbanan menjadi sangat penting dalam sebuah perjalanan atau proses. Karena tanpa unsur tersebut dalam kehidupan kita, maka tujuan kita akan mungkin sulit dicapai. Percaya atau tidak? Anda yang meyakini dan saya yang menyampaikan

Pemimpin ideal Indonesia

Rabu, 01 Desember 2010

Temen-temen, coba kita simak bersama gagasan ini. Barangkali menjadikan inspirasi bagi yang mau menyuarakan pemimpin ideal Indonesia...

MENANTI KEPEMIMPINAN BERBASIS RUH DAN GAGASAN
Oleh: Ahmad Emye

“The real voyage of discovery is not seeking new lands but in having new eyes”
(Marcel Proust)

Ungkapan filsuf Marcel Proust diatas tepat untuk menggambarkan bagaimana kita memahami kepemimpinan dan proses lahirnya para pemimpin di Banten. Setelah kita menyaksikan hasil Pilkada tahun 2006, figur kepemimpinan itukah yang ideal bagi Banten? Rakyat telah menentukan suaranya dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam prosesnya. Kita semua dapat berdebat panjang soal keabsahan dan kejujuran Pilkada tersebut, mungkin debat tanpa berujung, tanpa kita mampu mengubah hasilnya kecuali melalui kontrol suara-suara “wakil rakyat” yang sebagian dari kita sangsi kepada meraka. Mereka terpilih oleh proses yang juga sah, namun mengapa sebagian dari kita masih juga sangsi? Tentu tidak bijak bila kita terus menyangsikan integritas mereka yang setidaknya juga masih punya hati nurani, sementara kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kita masih berharap pada nurani para penguasa dan anggota legislatif yang terpilih tersebut, yang tentunya memiliki ruh yang cenderung pada kebenaran, kejujuran dan keadilan.

Tulisan ini bukan berada pada ranah politik praktis, melainkan pada ranah kebudayaan dan pemikiran untuk mengajak kita semua untuk melakukan refleksi ulang makna kepemimpinan baru di Banten, yang lebih mungkin dalam jangkauan kita saat ini, sebab siapapun pemimpinnya, mayarakat terus bergerak dan bekerja. Sebab, haruskah kita menanti lahirnya pemimpin ideal Banten dengan mencari calon-calon pemimpin baru masa depan yang hanya terjadi setiap lima tahun? atau sebaiknya kita semua memperkuat komitmen masing-masing sebagai pemimpin pada bidang masing-masing yang sedang bekerja dan menuntaskan agenda perubahan pada komunitas masing-masing?

Memang terlalu pelik membahas perjalanan tujuh tahun Banten menjadi provinsi, saya hanya ingin mengajak untuk menatap kedepan. Saya pribadi, tanpa ingin menjelaskan alasan-alasannya, memahami pembangunan Banten sedang bergerak pada pembangunan fisik namun alpa membangun jiwanya. Jiwa warga penghuni negeri Banten, yang telah menantikan tujuh tahun penguasa bekerja untuk mereka. Tulisan ini akan memfokuskan bahasan pada upaya perbaikan individual, yang sejatinya akan mengantarkan pada perbaikan masyarakat dan Banten secara keseluruhan. Dengan peningkatan kualitas individual anak-anak negeri Banten, kita semua berharap akan menjadi bagian integral kemajuan Banten, melepaskan diri dari berbagai belenggu masa silam yang menghambat kemajuan.

Individu Sebagai Penentu Kemajuan Negeri
Thomas L. Friedman dalam The World is Flat (2005) menyatakan bahwa para individulah yang telah teruji menentukan kemajuan sebuah negeri. Era kemajuan negara-bangsa dan peran perusahaan multinasional yang menentukan kemajuan sebuah bangsa tinggal terjadi pada berbagai belahan dunia saja, selebihnya para individu telah menghasilkan berbagai karya-karya fenomenal atas kemampuannya menggunakan berbagai jenis kecerdasan yang sebenarnya dimiliki oleh semua manusia di bumi ini, tanpa terkecuali. Para pemilik gagasan dan keahlian dari India, Malaysia dan China telah menjadi penentu berbagai kecenderungan sosial dan ekonomi belahan dunia lainnya. Tiba-tiba saja kita terkejut, berbagai lembaga ekonomi di negeri kita berpindah kepemilikan kepada para warga negara tetangga, yang tiga puluh tahun lalu belajar dari Indonesia. Tiba-tiba saja, produk-produk China, yang dihasilkan oleh pelaku industri rumah tangga berada di toko-toko di depan rumah kita. Banyak hal yang tiba-tiba kita tidak sadari telah berubah. Tiba-tiba kita menjadi negeri yang miskin.

Penulis hendak mengajak anak-anak negeri Banten untuk mengambil pelajaran dari berbagai fenomena tersebut, apakah anak-anak negeri China, India, Malaysia dan lain-lain ditakdirkan lebih cerdas dari anak-anak negeri kita? Soal kecerdasan inteligensi, tentunya bangsa kita tidak kalah. Lihat saja, Andhika Putra, siswa SMA I Sutomo Medan dan Ali Sucipto, siswa SMA Xaverius I Palembang merebut medali emas pada Olimpiade Fisika Dunia yang diselenggarakan di Salamanca Spanyol tahun 2005. Pada tahun yang sama, Dhina Pramita Susanti, dari SMA Negeri 3 Semarang, dan Anike Bowaire dari SMA Negeri 3 Serui, Papua juga meraih medali emas pada lomba fisika eksperimen Internasional dengan penghargaan “ The First Step to Nobel Prize in Physics 2005”. Banyak anak-anak negeri Banten juga cemerlang, seperti Elin Driana yang sedang menamatkan PhD di Ohio University, Tubagus Furqon Sofhani yang sedang menamatkan di University of Illinois, dan putera-puteri Banten lainnya, termasuk para penerima beasiswa LG yang juga sedang meraih impian-impiannya dengan kemampuan mereka untuk berkembang sendiri. Saya tidak sedang mengupas semata-mata soal kecerdasan inteligensi, sebab Anthony Robbins telah membuktikan bahwa keberhasilan hidup 70% ditentukan oleh kecerdasan emosional, belum lagi Dannah Zohar membuktikan kecerdasan spiritual membuat manusia merasa lebih bermakna, dalam peran apapun di dunia.
Pertanyaan yang harus kita jawab adalah seberapa banyak kita menggunakan berbagai medium pembelajaran yang memungkinkan anak-anak bangsa lebih cerdas secara emosional dan spiritual? Seberapa cerdas kita menggunakan medium rumah, medium bermain, medium pergaulan sosial, medium tempat-tempat pertemuan, medium teknologi dan sarana non fisik lainnya untuk melejitkan potensi diri anak-anak negeri? Sesungguhnya, pada medium ini proses pembentukan pemimpin generasi baru Banten dilahirkan. Seberapa sadar kita mewarnai medium-medium tersebut dengan nilai-nilai yang dapat memproses lahirnya generasi baru Banten yang lebih cerdas secara emosioanal dan spiritual?. Bukankah lebih banyak waktu kita berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sosial selama ini pada medium-medium tersebut? Seberapa bernilai kualitas interaksi tersebut yang dapat membuat proses yang menghasilkan kualitas anak-anak negeri Banten yang lebih baik? Merekalah calon-calon pemimpin Banten generasi baru. Mereka yang cerdas secara emosional dan spiritual.

Penulis tidak dalam posisi “anti” sekolahan, penulis menilai kita semua sering mengabaikan medium pembelajaran lain, yang justru paling banyak menyerap sumberdaya kita semua. Amat banyak peluang yang kita lewatkan agar kita, lingkungan dan anak-anak kita dapat lebih cerdas, lebih bijak, dan lebih berbudi pekerti dibandingkan masa lalu. Makna kecerdasan yang dimaksud, lagi-lagi, bukanlah semata-mata kecerdasaan intelijensi yang berasal dari warisan genetik, namun juga meliputi kecerdasan emosional dan spiritual yang justru, menutut berbagai penelitian, mampu melejitkan potensi diri dan berkontribusi paling besar terhadap keberhasilan hidup dan harmoni sosial[3].

Pendek kata, pembelajaran sebagai proses pembentukan manusia tidak harus jauh dari jangkauan kita. Masyarakat Banten juga dapat menggunakan berbagai medium pembelajaran yang dapat merubah pola pikir, pola sikap dan pola tindaknya. Meminjam pernyataan Argyris dan Schon (1978) bahwa proses pembelajaran tidak selalu terbatas pada proses linier melalui upaya memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu (detection of errors) yang disebut single-loop learning, melainkan juga dapat berupa upaya menjawab berbagai asumsi-asumsi dalam pengambilan keputusan seseorang didalam organisasi (baca: bermasyarakat), termasuk didalamnya asumsi tentang medium pembelajaran sendiri, yang disebut double-loop learning[4].

Sinkula dan Baker (1999) menyebut pembelajaran model kedua memungkinkan “think outside the box”, yang kedua tipe pembelajaran ini membutuhkan nilai-nilai (values) pembelajaran organisasional (baca: bermasyarakat) yang memungkinkan seluruh individu untuk melakukan pembelajaran terus-menerus untuk kehidupan yang lebih baik[5]. Dalam konteks ini, bila kita sepakat Banten sebagai sebuah organisasi, maka komitmen ini ada pada seluruh individu, dimulai dari para pemimpin formal sampai dengan kita semua, rakyat biasa, dengan peran, tanggung jawab dan wewenang masing-masing. Adalah tugas pengelola negari Banten ini untuk menciptakan fasilitas dan atmosfir pembelajaran, namun kita tidak dapat tergantung sepenuhnya pada mereka, bila mereka alpa.

Sinkula dan Baker (1999) juga menyatakan bahwa nilai-nilai organisasional yang harus dibangun agar tercipta pembelajaran organisasional (baca: masyarakat) adalah: (i) komitmen pada pembelajaran (commitment to learning), (ii) keterbukaan pandangan (open-mindedness), dan (iii) visi yang disepakati (shared-vision).

Menanti Kepemimpinan Berbasis Ruh dan Gagasan
Banten ini juga berhak bermimpi untuk menjadi lebih adil dan sejahtera. Anak-anak negeri Banten ini juga berhak untuk berdiri terhormat dan bermartabat dihadapan warga negara lainnya. Pertanyaannya adalah; bagaimana kita dapat membangun kepemimpinan generasi baru pada masa depan dengan cermin pengalaman masa lalu. Seorang bijak pernah mengatakan; “satu-satunya alasan mengapa kita selalu meilihat kaca spion, semata-mata kita hendak maju ke depan”. Perlu ketegasaan sikap kita semua untuk memutus rantai persoalan pada masa lalu agar tidak terus menggayuti perjalanan kita berikutnya.

Untuk dapat mulai bermimpi, atau lebih dikenal dalam terminologi manajemen stratejik, membangun visi, anak-anak Banten wajib memiliki komitmen kuat terhadap pembelajaran (commitment to learning). Sinkula dan Baker (1999) menyebutkan nilai-nilai komitmen sebagai prayarat mutlak yang dibutuhkan agar terbangun pembelajaran yang mengantarkannya pada perubahan. Bila komitmen tersebut kita miliki, maka kita semua akan mengarahkan sumberdaya akan mendorong terciptanya alokasi sumberdaya yang memungkinkan terjadinya pembelajaran.

Komitmen tersebut akan mengantarkan pada upaya terus-menerus untuk memperbaharui pengetahuan, sikap dan perilaku hari ini agar lebih baik dibandingkan masa lalu, dan memperbaiki masa depan dibandingkan hari ini. Inilah yang disebut, anak-anak Banten berhak memperoleh masa depannya yang lebih baik, dengan bercermin dari kekeliruan dan kekurangan masa lalu, sambil memilah-milah kebaikan-kebaikan mana yang layak dipertahankan dan diperkuat. Komitmen terhadap pembelajaran dari seluruh anak-anak negeri Banten akan mengantarkan pada pengalamaan-pengalaman baru yang tidak pernah dialami sebelumnya. Perbedaan perpektif dalam melihat sebuah fenomena sosial adalah hal yang wajar sebagai salah satu buah manis pembelajaran. Senge (2002) mengingatkan kita bahwa model mental perlu dibangun pada individu agar melihat dinamika organisasi (baca: masyarakat Banten) sebagai sebuah sistem yang berjalan untuk menyempurnakan diri[6]. Oleh karena itu, pikiran Senge (2002) ini sejalan dengan Baker dan Sinkula (1999), bahwa nilai-nilai pembelajaran organisasional yang berikutnya adalah keterbukaan pandangan (open-mindedness). Nilai-nilai ini bila dimiliki oleh para individu akan memungkinkan proses pembelajaran generatif (Argyris dan Schon, 1978), yang memungkinkan terjadinya perubahan pemahaman-pemahaman baru yang lebih sejalan dengan dinamika masyarakat Banten yang baru.

Perubahan pemahaman baru ini akan mengantarkan pada sikap, perilaku dan keterampilan baru anak-anak negeri Banten yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Sebagai contoh, bila semua anak-anak negeri Banten memiliki akses murah pada internet dan teknologi informasi lainnya yang merupakan wujud dari komitmen pemerintah, maka bila disertai nilai-nilai keterbukaan pandangan tentang masa depan kehidupan yang ditentukan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, maka mereka cenderung akan menggunakan internet tersebut untuk mencari peluang beasiswa, menambah penguasaan bahasa asing, membangun komunitas maya yang sehat dan seterusnya.

Berbagai dinamika bermasyakarat yang baru di Banten juga selayaknya disikapi dengan proporsional, termasuk berbagai fenomena diantaranya; proses Pilkada yang belum sempurna, desentralisasi yang melahirkan ego Pemkab/Pemkot, dan berbagai kecenderungan pembangunan lainnya. Bila semua anak-anak negeri Banten memiliki keterbukaan pandangan bahwa demokrasi adalah prinsip-prinsip kemerdekaan untuk mewujudkan pemerintahan yang adil yang didukung rakyat, maka perilaku yang memerintah dan masyarakat pun relatif akan bahu-bahu membuat perangkat hukum (baca: Perda dan aturan-aturan lainnya) dan kebijaksanaan yang memungkinkan tujuan dari proses demokrasi tersebut. Marquardt and Reynolds (1994) mendefinisikan pembelajaran sebagai[7]: “proses individu memperoleh pengetahuan baru dan pemahaman yang mendalam yang akan merubah perilaku dirinya”.

Jadi, para pemimpin generasi baru adalah mereka yang sejatinya membangun kempimpinan berbasis pada pembelajaran individu yang memiliki ruh yang cenderung dekat pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, serta dapat menghasilkan gagasan sebagai produk darin proses pembelajaran. Kita semua, apapun peran kita dalam proses bermasyarakat ini. Apakah ia seorang penguasa, pajabat provinsi, anggota legislatif atau siapapun dan apapun peran kita di negeri ini. Apakah kita semua punya komitmen untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu yang kita tengah jalani? Maukah kita menggunakan sumberdaya (resources) yang paling bernilai dalam kehidupan ini, yakni sumberdaya waktu dan energi yang kita miliki untuk mewujudukan komitmen tersebut?.

Waktu adalah aset paling berharga yang sering kita abaikan, padahal QS 103; 1-3 telah mengingatkan betapa meruginya manusia yang mengabaikan waktu, kecuali bagi mereka yang beriman dan mengerjakan kebaikan serta saling menasehati untuk menasehati untuk kebenaran dan keshabaran. Melaksanakan kebaikan dan nasihat untuk kebenaran dan keshabaran adalah proses interaksi bermasyakarat yang membutuhkan keyakinan (beliefs), sikap (attitides) dan perilaku (behaviour) anak-anak negeri Banten yang meyakini semuanya adalah investasi bagi kehidupan saat ini dan kehidupan selanjutnya di Hari Kemudian.

Argyris dan Schon (1978) menyatakan bahwa terdapat dua hal penting dalam pembelajaran yaitu: (i) pembelajaran dapat terjadi hanya jika individu yang belajar memahami permasalahan dan termotivasi untuk mempelajarinya; (ii) meskipun dengan pemahaman yang mendalam, seorang yang belajar seringkali tidak menghasilkan perilaku yang baik atau keahlian yang konsisten untuk mengatasi berbagai permasalahan.

Uraian tersebut mengantarkan penulis pada pentingnya nilai-nilai organisasional yang ketiga yang disebut dengan; shared-vision. Dua nilai-nilai yang pertama (komitmen pada pembelajaran dan keterbukaan pandangan), tanpa disertai dengan shared-vision, ibarat kita memiliki kendaraan canggih tanda tujuan akhir. Dalam nilai-nilai shared-vision ini terdapat harapan masa depan anak-anak negeri Banten, terkandung didalamnya nilai-nilai moral sebagai landasan visi, proses internalisasi dan komunikasi politik, sense of crisis, nilai-nilai bermasyarakat dan lain-lain, yang memungkinkan terbangunnya kesatuan sikap berbagai komponen masyarakat Banten. Energi individu tidak habis untuk menarik Banten untuk mundur ke belakang, dengan mempersoalkan berbagai perbedaan yang terlanjur dimiliki oleh masing-masing, melainkan membangun sinergi dan partisipasi untuk melakukan pekerjaan besar bersama-sama.

Menurut Thomson dan Strickland (2005), mengaitkan visi dengan nilai-nilai yang dimiliki organisasi (baca: masyarakat) akan membuat visi tersebut memiliki ruh dan keterkaitan moral yang mampu membangkitkan sumberdaya yang melampau berbagai keterbatasan yang dimiliki[8]. Barangkali inilah yang disebut dengan prinsip-prinsip menggunakan kekuatan diri untuk dapat mengatasi berbagai rintangan dan tekanan yang melampau kemampuan pikiran (otak kiri yang bercirikan logika), dengan menggunakan kekuatan otak kanan dan kekuatan bawah sadar (unconcious mind), yang banyak digunakan oleh para ahli neuro-linguistic programming, hypnosis, mind management, quantum learning dan sejenisnya[9].