Ketika Integritas Bangsa Indonesia Dipertanyakan...

Selasa, 08 Mei 2012



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Bagaimana kabar rekan-rekan mahasiswa? Masih berkobar dengan idealisme?

Pada posting kali ini, saya tidak akan berpanjang lebar. Saya ingin sekali bertukar pikiran mengenai kondisi kekinian
bangsa Indonesia...

Sesuai dengan narasi di atas, berbicara mengenai integritas,
bangsa Indonesia dihadapkan pada permasalahan konsistensi kebangsaannya. Apa saja yang kemudian menjadi begitu penting bagi kita sebagai generasi muda bangsa, untuk menganalisa berbagai permasalahan bangsa ini?
Politik. Implementasi sistem politik dan tata negara di Indonesia semakin kompleks. Ini terbukti dengan berdirinya lembaga negara, dengan pembagian kekuasaan dan kewenangan. Tujuan pembagian ini tentunya untuk meminimalisir kekuasaan yang absolut, namun pada kenyataannya lembaga - lembaga negara yang ada malah kontraproduktif. Apa yang salah dengan kondisi ini?

Ekonomi. Liberalisasi sudah tak terbendung lagi, namun pemerintah sebagai pelaksana kebijakan ekonomi masih kurang siap dalam memberikan proteksi terhadap ekonomi rakyat. Yang terjadi, kapitalisme besar - besaran di seluruh sektor ekonomi, bahkan menggusur eksistensi ekonomi rakyat. Bagaimana penyelesaiannya?

Sosial budaya. Pengaruh budaya pop terhadap generasi muda Indonesia, telah melunturkan nilai - nilai luhur sebagai bangsa yang berbudi. Karakter generasi muda telah meniru idola - idola pop yang kebanyakan mengambil keuntungan dari popularitas. Mau dibawa kemana generasi muda Indonesia kalau sudah begini?

Agama. Keberadaan agama sebagai penggerak nilai - nilai kebaikan sudah tak mampu lagi menggerakkan kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat. Fanatisme dan radikalisme tumbuh subur sebagai penggerak kebencian. Apakah ini yang kita inginkan sebagai bangsa Indonesia?

Pertahanan keamanan. Pertahanan negara tertinggal selangkah di belakang negara - negara tetangga yang memiliki manajemen pertahanan yang lebih baik. Keamanan di lingkungan masyarakat kita seolah menjadi barang mahal yang harus dijaga atau konsekuensi buruk harus ditanggung bersama.

Bagaimana pendapat anda? Silahkan tuliskan di kolom komentar. Semoga bermanfaat

Mengawal Indonesia

Senin, 07 Mei 2012

Mungkin rekan-rekan sekalian bertanya-tanya dengan judul ini. Mengapa Indonesia perlu dikawal dan dalam konteks apa kita harus mengawal Indonesia?


Narasi ini sebagai bentuk kritik atas kredibilitas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Indonesia. Potensi konflik yang timbul akibat pesta demokrasi ini, menjadi satu catatan penting, dan sebagai warga negara yang melek politik, kita harus kritis terhadap masalah ini.


Mengawal penyelenggaraan pilkada merupakan sebuah keharusan dalam menegakkan demokrasi yang kredibel. Manifestasi dari demokrasi yang kredibel ini adalah penyelenggaraan pilkada yang bersih dari penyimpangan. Karena target utama dari penyelenggaraan pilkada yang bersih adalah menghasilkan kepala daerah yang kredibel dan memiliki integritas.


Penyelenggaraan pilkada yang bersih membutuhkan pemahaman yang baik akan prosedur penyelenggaraan pilkada. Oleh karena itu SDM yang terlibat, harus memiliki kapabilitas dan profesional.


Dengan sedikit gambaran tersebut, semoga dapat memberikan kontribusi dalam mewujudkan kepemimpinan Indonesia yang dapat dipercaya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia.

Menganalisis PP 02 Tahun 2008 dan Implikasinya

Minggu, 06 Mei 2012

Memperingati momentum hari internasional planet bumi yang jatuh pada 22 April 2008, kalangan aktivis lingkungan dikejutkan dengan regulasi yang digulirkan pemerintah yaitu PP 02 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan. Regulasi ini cukup meresahkan masyarakat yang peduli akan kelestarian hutan karena regulasi tersebut dapat mengancam keberadaan hutan lindung di Indonesia.


Opini yang beredar menimbulkan persepsi bahwa regulasi ini berpotensi mengancam keberadaan hutan lindung. Secara kontekstual tidak terdapat pasal maupun poin yang mengindikasikan bahwa keberadaan hutan lindung termasuk kedalam kategori hutan yang dikomersialkan. Segala kebijakan mengenai penentuan hutan yang termasuk dalam komersialisasi diatur oleh Departemen Kehutanan sebagai pelaksana teknis. Hal tersebut kemudian menjadi permasalahan mengingat kredibilitas aparatur negara yang selama ini telah melakukan kesalahan fatal dengan mengkomersialkan hutan.


Opini tersebut bukanlah tidak beralasan karena fakta yang selama ini diketahui oleh masyarakat, pengelolaan hutan di Indonesia tergolong carut-marut. Pada tataran kebijakan maupun teknis selalu muncul permasalahan kerusakan hutan akibat keserakahan para pengusaha yang mengantongi izin HPH. Legalisasi perambahan hutan tersebut disalahgunakan dengan mengeksploitasi hutan melampaui kapasitas eksploitasi yang diperbolehkan. Usaha tersebut tidak diimbangi dengan upaya rehabilitasi yang memadai karena para oknum yang seharusnya bertanggung jawab hanya memikirkan keuntungan diri sendiri.


Dengan berpijak pada historis tersebut maka wajar jika masyarakat kemudian melontarkan protes atas komersialisasi hutan melalui peraturan pemerintah tersebut. Dengan adanya komersialisasi akan membuka lebar peluang penyalahgunaan fungsi kawasan hutan sehingga akan mengancam kelestarian hutan. Oleh karena itu dibutuhkan pengawalan terhadap implementasi kebijakan tersebut sebagai upaya meminimalisir penyimpangan yang terjadi. Untuk mewujudkannya dibutuhkan kerja sama semua pihak.

Pilkada Langsung Melanggar Pancasila

Sabtu, 05 Mei 2012

Mekasnisme pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dinilai melanggar Pancasila,

khususnya sila keempat yang berbunyi 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'.


Pandangan tersebut dikemukakan Guru Besar Hukum Administrasi, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Muchsan dalam paparannya pada sebuah diskusi panel di Universitas Islam Batik (Uniba) Solo, Jawa Tengah.


"Karena dengan pilkada langsung, mekanisme perwakilan itu menjadi tidak ada," tegasnya.
Bukan cuma itu, efek lain yang ditimbulkan perubahan mekanisme dalam pilkada ini adalah masalah pertanggungjawaban yang menjadi semakin tidak jelas.


"Jika dulu saat menggunakan mekanisme pemilihan melalui perwakilan, seorang kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD, sekarang, dengan peralihan ke pemilihan secara langsung, setelah masa jabatan kepala daerah itu berakhir, ia harus bertanggung jawab kepada siapa?'' tanyanya.


Menurutnya, itu baru merupakan sudut yuridisnya. Sedang dari aspek empiris, ia menilai pilkada langsung lebih banyak ruginya. Selain seringkali menjadi pemicu munculnya gesekan dan perseteruan di tingkat bawah, poses ini juga membutuhkan biaya sangat besar.


"Setiap pelaksanaan pilkada membutuhkan dana triliunan rupiah. Itu kalau digunakan membangun kampus baru, seperti Uniba ini sudah jadi sepuluh buah," selorohnya disambut tawa hadirin. (mo/hr)


Source : http://www.menkokesra.go.id/content/view/8665/39/