Opini yang beredar menimbulkan persepsi bahwa regulasi ini berpotensi mengancam keberadaan hutan lindung. Secara kontekstual tidak terdapat pasal maupun poin yang mengindikasikan bahwa keberadaan hutan lindung termasuk kedalam kategori hutan yang dikomersialkan. Segala kebijakan mengenai penentuan hutan yang termasuk dalam komersialisasi diatur oleh Departemen Kehutanan sebagai pelaksana teknis. Hal tersebut kemudian menjadi permasalahan mengingat kredibilitas aparatur negara yang selama ini telah melakukan kesalahan fatal dengan mengkomersialkan hutan.
Opini tersebut bukanlah tidak beralasan karena fakta yang selama ini diketahui oleh masyarakat, pengelolaan hutan di Indonesia tergolong carut-marut. Pada tataran kebijakan maupun teknis selalu muncul permasalahan kerusakan hutan akibat keserakahan para pengusaha yang mengantongi izin HPH. Legalisasi perambahan hutan tersebut disalahgunakan dengan mengeksploitasi hutan melampaui kapasitas eksploitasi yang diperbolehkan. Usaha tersebut tidak diimbangi dengan upaya rehabilitasi yang memadai karena para oknum yang seharusnya bertanggung jawab hanya memikirkan keuntungan diri sendiri.
Dengan berpijak pada historis tersebut maka wajar jika masyarakat kemudian melontarkan protes atas komersialisasi hutan melalui peraturan pemerintah tersebut. Dengan adanya komersialisasi akan membuka lebar peluang penyalahgunaan fungsi kawasan hutan sehingga akan mengancam kelestarian hutan. Oleh karena itu dibutuhkan pengawalan terhadap implementasi kebijakan tersebut sebagai upaya meminimalisir penyimpangan yang terjadi. Untuk mewujudkannya dibutuhkan kerja sama semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar