Pemimpin ideal Indonesia

Rabu, 01 Desember 2010

Temen-temen, coba kita simak bersama gagasan ini. Barangkali menjadikan inspirasi bagi yang mau menyuarakan pemimpin ideal Indonesia...

MENANTI KEPEMIMPINAN BERBASIS RUH DAN GAGASAN
Oleh: Ahmad Emye

“The real voyage of discovery is not seeking new lands but in having new eyes”
(Marcel Proust)

Ungkapan filsuf Marcel Proust diatas tepat untuk menggambarkan bagaimana kita memahami kepemimpinan dan proses lahirnya para pemimpin di Banten. Setelah kita menyaksikan hasil Pilkada tahun 2006, figur kepemimpinan itukah yang ideal bagi Banten? Rakyat telah menentukan suaranya dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam prosesnya. Kita semua dapat berdebat panjang soal keabsahan dan kejujuran Pilkada tersebut, mungkin debat tanpa berujung, tanpa kita mampu mengubah hasilnya kecuali melalui kontrol suara-suara “wakil rakyat” yang sebagian dari kita sangsi kepada meraka. Mereka terpilih oleh proses yang juga sah, namun mengapa sebagian dari kita masih juga sangsi? Tentu tidak bijak bila kita terus menyangsikan integritas mereka yang setidaknya juga masih punya hati nurani, sementara kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kita masih berharap pada nurani para penguasa dan anggota legislatif yang terpilih tersebut, yang tentunya memiliki ruh yang cenderung pada kebenaran, kejujuran dan keadilan.

Tulisan ini bukan berada pada ranah politik praktis, melainkan pada ranah kebudayaan dan pemikiran untuk mengajak kita semua untuk melakukan refleksi ulang makna kepemimpinan baru di Banten, yang lebih mungkin dalam jangkauan kita saat ini, sebab siapapun pemimpinnya, mayarakat terus bergerak dan bekerja. Sebab, haruskah kita menanti lahirnya pemimpin ideal Banten dengan mencari calon-calon pemimpin baru masa depan yang hanya terjadi setiap lima tahun? atau sebaiknya kita semua memperkuat komitmen masing-masing sebagai pemimpin pada bidang masing-masing yang sedang bekerja dan menuntaskan agenda perubahan pada komunitas masing-masing?

Memang terlalu pelik membahas perjalanan tujuh tahun Banten menjadi provinsi, saya hanya ingin mengajak untuk menatap kedepan. Saya pribadi, tanpa ingin menjelaskan alasan-alasannya, memahami pembangunan Banten sedang bergerak pada pembangunan fisik namun alpa membangun jiwanya. Jiwa warga penghuni negeri Banten, yang telah menantikan tujuh tahun penguasa bekerja untuk mereka. Tulisan ini akan memfokuskan bahasan pada upaya perbaikan individual, yang sejatinya akan mengantarkan pada perbaikan masyarakat dan Banten secara keseluruhan. Dengan peningkatan kualitas individual anak-anak negeri Banten, kita semua berharap akan menjadi bagian integral kemajuan Banten, melepaskan diri dari berbagai belenggu masa silam yang menghambat kemajuan.

Individu Sebagai Penentu Kemajuan Negeri
Thomas L. Friedman dalam The World is Flat (2005) menyatakan bahwa para individulah yang telah teruji menentukan kemajuan sebuah negeri. Era kemajuan negara-bangsa dan peran perusahaan multinasional yang menentukan kemajuan sebuah bangsa tinggal terjadi pada berbagai belahan dunia saja, selebihnya para individu telah menghasilkan berbagai karya-karya fenomenal atas kemampuannya menggunakan berbagai jenis kecerdasan yang sebenarnya dimiliki oleh semua manusia di bumi ini, tanpa terkecuali. Para pemilik gagasan dan keahlian dari India, Malaysia dan China telah menjadi penentu berbagai kecenderungan sosial dan ekonomi belahan dunia lainnya. Tiba-tiba saja kita terkejut, berbagai lembaga ekonomi di negeri kita berpindah kepemilikan kepada para warga negara tetangga, yang tiga puluh tahun lalu belajar dari Indonesia. Tiba-tiba saja, produk-produk China, yang dihasilkan oleh pelaku industri rumah tangga berada di toko-toko di depan rumah kita. Banyak hal yang tiba-tiba kita tidak sadari telah berubah. Tiba-tiba kita menjadi negeri yang miskin.

Penulis hendak mengajak anak-anak negeri Banten untuk mengambil pelajaran dari berbagai fenomena tersebut, apakah anak-anak negeri China, India, Malaysia dan lain-lain ditakdirkan lebih cerdas dari anak-anak negeri kita? Soal kecerdasan inteligensi, tentunya bangsa kita tidak kalah. Lihat saja, Andhika Putra, siswa SMA I Sutomo Medan dan Ali Sucipto, siswa SMA Xaverius I Palembang merebut medali emas pada Olimpiade Fisika Dunia yang diselenggarakan di Salamanca Spanyol tahun 2005. Pada tahun yang sama, Dhina Pramita Susanti, dari SMA Negeri 3 Semarang, dan Anike Bowaire dari SMA Negeri 3 Serui, Papua juga meraih medali emas pada lomba fisika eksperimen Internasional dengan penghargaan “ The First Step to Nobel Prize in Physics 2005”. Banyak anak-anak negeri Banten juga cemerlang, seperti Elin Driana yang sedang menamatkan PhD di Ohio University, Tubagus Furqon Sofhani yang sedang menamatkan di University of Illinois, dan putera-puteri Banten lainnya, termasuk para penerima beasiswa LG yang juga sedang meraih impian-impiannya dengan kemampuan mereka untuk berkembang sendiri. Saya tidak sedang mengupas semata-mata soal kecerdasan inteligensi, sebab Anthony Robbins telah membuktikan bahwa keberhasilan hidup 70% ditentukan oleh kecerdasan emosional, belum lagi Dannah Zohar membuktikan kecerdasan spiritual membuat manusia merasa lebih bermakna, dalam peran apapun di dunia.
Pertanyaan yang harus kita jawab adalah seberapa banyak kita menggunakan berbagai medium pembelajaran yang memungkinkan anak-anak bangsa lebih cerdas secara emosional dan spiritual? Seberapa cerdas kita menggunakan medium rumah, medium bermain, medium pergaulan sosial, medium tempat-tempat pertemuan, medium teknologi dan sarana non fisik lainnya untuk melejitkan potensi diri anak-anak negeri? Sesungguhnya, pada medium ini proses pembentukan pemimpin generasi baru Banten dilahirkan. Seberapa sadar kita mewarnai medium-medium tersebut dengan nilai-nilai yang dapat memproses lahirnya generasi baru Banten yang lebih cerdas secara emosioanal dan spiritual?. Bukankah lebih banyak waktu kita berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sosial selama ini pada medium-medium tersebut? Seberapa bernilai kualitas interaksi tersebut yang dapat membuat proses yang menghasilkan kualitas anak-anak negeri Banten yang lebih baik? Merekalah calon-calon pemimpin Banten generasi baru. Mereka yang cerdas secara emosional dan spiritual.

Penulis tidak dalam posisi “anti” sekolahan, penulis menilai kita semua sering mengabaikan medium pembelajaran lain, yang justru paling banyak menyerap sumberdaya kita semua. Amat banyak peluang yang kita lewatkan agar kita, lingkungan dan anak-anak kita dapat lebih cerdas, lebih bijak, dan lebih berbudi pekerti dibandingkan masa lalu. Makna kecerdasan yang dimaksud, lagi-lagi, bukanlah semata-mata kecerdasaan intelijensi yang berasal dari warisan genetik, namun juga meliputi kecerdasan emosional dan spiritual yang justru, menutut berbagai penelitian, mampu melejitkan potensi diri dan berkontribusi paling besar terhadap keberhasilan hidup dan harmoni sosial[3].

Pendek kata, pembelajaran sebagai proses pembentukan manusia tidak harus jauh dari jangkauan kita. Masyarakat Banten juga dapat menggunakan berbagai medium pembelajaran yang dapat merubah pola pikir, pola sikap dan pola tindaknya. Meminjam pernyataan Argyris dan Schon (1978) bahwa proses pembelajaran tidak selalu terbatas pada proses linier melalui upaya memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu (detection of errors) yang disebut single-loop learning, melainkan juga dapat berupa upaya menjawab berbagai asumsi-asumsi dalam pengambilan keputusan seseorang didalam organisasi (baca: bermasyarakat), termasuk didalamnya asumsi tentang medium pembelajaran sendiri, yang disebut double-loop learning[4].

Sinkula dan Baker (1999) menyebut pembelajaran model kedua memungkinkan “think outside the box”, yang kedua tipe pembelajaran ini membutuhkan nilai-nilai (values) pembelajaran organisasional (baca: bermasyarakat) yang memungkinkan seluruh individu untuk melakukan pembelajaran terus-menerus untuk kehidupan yang lebih baik[5]. Dalam konteks ini, bila kita sepakat Banten sebagai sebuah organisasi, maka komitmen ini ada pada seluruh individu, dimulai dari para pemimpin formal sampai dengan kita semua, rakyat biasa, dengan peran, tanggung jawab dan wewenang masing-masing. Adalah tugas pengelola negari Banten ini untuk menciptakan fasilitas dan atmosfir pembelajaran, namun kita tidak dapat tergantung sepenuhnya pada mereka, bila mereka alpa.

Sinkula dan Baker (1999) juga menyatakan bahwa nilai-nilai organisasional yang harus dibangun agar tercipta pembelajaran organisasional (baca: masyarakat) adalah: (i) komitmen pada pembelajaran (commitment to learning), (ii) keterbukaan pandangan (open-mindedness), dan (iii) visi yang disepakati (shared-vision).

Menanti Kepemimpinan Berbasis Ruh dan Gagasan
Banten ini juga berhak bermimpi untuk menjadi lebih adil dan sejahtera. Anak-anak negeri Banten ini juga berhak untuk berdiri terhormat dan bermartabat dihadapan warga negara lainnya. Pertanyaannya adalah; bagaimana kita dapat membangun kepemimpinan generasi baru pada masa depan dengan cermin pengalaman masa lalu. Seorang bijak pernah mengatakan; “satu-satunya alasan mengapa kita selalu meilihat kaca spion, semata-mata kita hendak maju ke depan”. Perlu ketegasaan sikap kita semua untuk memutus rantai persoalan pada masa lalu agar tidak terus menggayuti perjalanan kita berikutnya.

Untuk dapat mulai bermimpi, atau lebih dikenal dalam terminologi manajemen stratejik, membangun visi, anak-anak Banten wajib memiliki komitmen kuat terhadap pembelajaran (commitment to learning). Sinkula dan Baker (1999) menyebutkan nilai-nilai komitmen sebagai prayarat mutlak yang dibutuhkan agar terbangun pembelajaran yang mengantarkannya pada perubahan. Bila komitmen tersebut kita miliki, maka kita semua akan mengarahkan sumberdaya akan mendorong terciptanya alokasi sumberdaya yang memungkinkan terjadinya pembelajaran.

Komitmen tersebut akan mengantarkan pada upaya terus-menerus untuk memperbaharui pengetahuan, sikap dan perilaku hari ini agar lebih baik dibandingkan masa lalu, dan memperbaiki masa depan dibandingkan hari ini. Inilah yang disebut, anak-anak Banten berhak memperoleh masa depannya yang lebih baik, dengan bercermin dari kekeliruan dan kekurangan masa lalu, sambil memilah-milah kebaikan-kebaikan mana yang layak dipertahankan dan diperkuat. Komitmen terhadap pembelajaran dari seluruh anak-anak negeri Banten akan mengantarkan pada pengalamaan-pengalaman baru yang tidak pernah dialami sebelumnya. Perbedaan perpektif dalam melihat sebuah fenomena sosial adalah hal yang wajar sebagai salah satu buah manis pembelajaran. Senge (2002) mengingatkan kita bahwa model mental perlu dibangun pada individu agar melihat dinamika organisasi (baca: masyarakat Banten) sebagai sebuah sistem yang berjalan untuk menyempurnakan diri[6]. Oleh karena itu, pikiran Senge (2002) ini sejalan dengan Baker dan Sinkula (1999), bahwa nilai-nilai pembelajaran organisasional yang berikutnya adalah keterbukaan pandangan (open-mindedness). Nilai-nilai ini bila dimiliki oleh para individu akan memungkinkan proses pembelajaran generatif (Argyris dan Schon, 1978), yang memungkinkan terjadinya perubahan pemahaman-pemahaman baru yang lebih sejalan dengan dinamika masyarakat Banten yang baru.

Perubahan pemahaman baru ini akan mengantarkan pada sikap, perilaku dan keterampilan baru anak-anak negeri Banten yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Sebagai contoh, bila semua anak-anak negeri Banten memiliki akses murah pada internet dan teknologi informasi lainnya yang merupakan wujud dari komitmen pemerintah, maka bila disertai nilai-nilai keterbukaan pandangan tentang masa depan kehidupan yang ditentukan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, maka mereka cenderung akan menggunakan internet tersebut untuk mencari peluang beasiswa, menambah penguasaan bahasa asing, membangun komunitas maya yang sehat dan seterusnya.

Berbagai dinamika bermasyakarat yang baru di Banten juga selayaknya disikapi dengan proporsional, termasuk berbagai fenomena diantaranya; proses Pilkada yang belum sempurna, desentralisasi yang melahirkan ego Pemkab/Pemkot, dan berbagai kecenderungan pembangunan lainnya. Bila semua anak-anak negeri Banten memiliki keterbukaan pandangan bahwa demokrasi adalah prinsip-prinsip kemerdekaan untuk mewujudkan pemerintahan yang adil yang didukung rakyat, maka perilaku yang memerintah dan masyarakat pun relatif akan bahu-bahu membuat perangkat hukum (baca: Perda dan aturan-aturan lainnya) dan kebijaksanaan yang memungkinkan tujuan dari proses demokrasi tersebut. Marquardt and Reynolds (1994) mendefinisikan pembelajaran sebagai[7]: “proses individu memperoleh pengetahuan baru dan pemahaman yang mendalam yang akan merubah perilaku dirinya”.

Jadi, para pemimpin generasi baru adalah mereka yang sejatinya membangun kempimpinan berbasis pada pembelajaran individu yang memiliki ruh yang cenderung dekat pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, serta dapat menghasilkan gagasan sebagai produk darin proses pembelajaran. Kita semua, apapun peran kita dalam proses bermasyarakat ini. Apakah ia seorang penguasa, pajabat provinsi, anggota legislatif atau siapapun dan apapun peran kita di negeri ini. Apakah kita semua punya komitmen untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu yang kita tengah jalani? Maukah kita menggunakan sumberdaya (resources) yang paling bernilai dalam kehidupan ini, yakni sumberdaya waktu dan energi yang kita miliki untuk mewujudukan komitmen tersebut?.

Waktu adalah aset paling berharga yang sering kita abaikan, padahal QS 103; 1-3 telah mengingatkan betapa meruginya manusia yang mengabaikan waktu, kecuali bagi mereka yang beriman dan mengerjakan kebaikan serta saling menasehati untuk menasehati untuk kebenaran dan keshabaran. Melaksanakan kebaikan dan nasihat untuk kebenaran dan keshabaran adalah proses interaksi bermasyakarat yang membutuhkan keyakinan (beliefs), sikap (attitides) dan perilaku (behaviour) anak-anak negeri Banten yang meyakini semuanya adalah investasi bagi kehidupan saat ini dan kehidupan selanjutnya di Hari Kemudian.

Argyris dan Schon (1978) menyatakan bahwa terdapat dua hal penting dalam pembelajaran yaitu: (i) pembelajaran dapat terjadi hanya jika individu yang belajar memahami permasalahan dan termotivasi untuk mempelajarinya; (ii) meskipun dengan pemahaman yang mendalam, seorang yang belajar seringkali tidak menghasilkan perilaku yang baik atau keahlian yang konsisten untuk mengatasi berbagai permasalahan.

Uraian tersebut mengantarkan penulis pada pentingnya nilai-nilai organisasional yang ketiga yang disebut dengan; shared-vision. Dua nilai-nilai yang pertama (komitmen pada pembelajaran dan keterbukaan pandangan), tanpa disertai dengan shared-vision, ibarat kita memiliki kendaraan canggih tanda tujuan akhir. Dalam nilai-nilai shared-vision ini terdapat harapan masa depan anak-anak negeri Banten, terkandung didalamnya nilai-nilai moral sebagai landasan visi, proses internalisasi dan komunikasi politik, sense of crisis, nilai-nilai bermasyarakat dan lain-lain, yang memungkinkan terbangunnya kesatuan sikap berbagai komponen masyarakat Banten. Energi individu tidak habis untuk menarik Banten untuk mundur ke belakang, dengan mempersoalkan berbagai perbedaan yang terlanjur dimiliki oleh masing-masing, melainkan membangun sinergi dan partisipasi untuk melakukan pekerjaan besar bersama-sama.

Menurut Thomson dan Strickland (2005), mengaitkan visi dengan nilai-nilai yang dimiliki organisasi (baca: masyarakat) akan membuat visi tersebut memiliki ruh dan keterkaitan moral yang mampu membangkitkan sumberdaya yang melampau berbagai keterbatasan yang dimiliki[8]. Barangkali inilah yang disebut dengan prinsip-prinsip menggunakan kekuatan diri untuk dapat mengatasi berbagai rintangan dan tekanan yang melampau kemampuan pikiran (otak kiri yang bercirikan logika), dengan menggunakan kekuatan otak kanan dan kekuatan bawah sadar (unconcious mind), yang banyak digunakan oleh para ahli neuro-linguistic programming, hypnosis, mind management, quantum learning dan sejenisnya[9].

Tidak ada komentar: